Hukum Cashback dalam Belanja, baik Offline maupun Online
adminberarti2022-11-19T12:31:52+07:00Dijawab oleh Ustadz Muhammad Irfan Zain, Lc.
Cashback berupa potongan harga tertentu yang diberikan kepada pelanggan ketika melakukan transaksi pembelian selanjutnya, yaitu ketika nominal pembeliannya sebelumnya telah mencapai angka tertentu adalah jenis pemberian bonus atau hadiah yang dibolehkan. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Allah berfirman;
وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ
“Dan Allah halalkan jual beli dan Ia haramkan riba”. (Al Baqarah; 275). Dipahami dari ayat ini bahwa al bay’u (Jual beli) dalam Islam adalah salah satu praktik akad muamalah yang dihalalkan.
Ciri khas dari akad ini adalah adanya praktik mu’awadlah (pertukaran) antara barang dengan barang (barter), atau antara barang dengan harga (jual beli). Karena meniscayakan adanya pertukaran yang disebutkan, maka ada syarat yang harus dipenuhi agar akad ini dinyatakan sah. Baik syarat itu berkenaan dengan barang atau komoditi yang dijual (al mabi’e) atau terkait dengan alat tukar yang digunakan untuk membeli, baik berupa barang atau nominal harga. Syarat yang dimaksud adalah;
1. Keberadaan fisik barang yang dijual demikian juga keberadaan fisik alat tukarnya (musyaahadah)
2. Kesesuaian fisik barang yang dijual dengan pesanan saat diserahkan kepada pemesan (syaiin maushuf fi al-dzimmah). Demikianlah juga dengan harga jualnya, harus sesuai sebagaimana akad yang berlaku dalam sebuah transaksi.
Diantara hal yang berkembang dalam dunia transaksi jual beli saat ini adalah apa yang diistilahkan dengan sebutan cashback. Lazimnya cashback diartikan sebagai “hadiah uang tunai atau bisa berupa poin yang diberikan oleh suatu perusahaan setelah seseorang melakukan pembelian barang atau jasa di perusahaan tersebut.” Cashback ini diterbitkan oleh pihak penjual/produsen barang sebagai variasi dari strategi pemasaran untuk menarik lebih banyak pelanggan, berupa potongan harga tertentu yang diberikan kepada pelanggan ketika melakukan transaksi pembelian selanjutnya, yaitu ketika nominal pembeliannya sebelumnya telah mencapai angka tertentu.
Dari penjelasan ini ditarik kesimpulan bahwa cashback diberikan sebagai:
1. Hadiah karena dipenuhinya syarat berbelanja. Alhasil ada janji yang disampaikan oleh pihak penjual.
2. Uang tunai yang hanya bisa digunakan sebagai potongan harga apabila melakukan transaksi berikutnya. Alhasil terpenuhi syarat kemakluman dari janji yang disampaikan.
3. Pihak yang memberi adalah pihak yang melaksanakan dan menerbitkan program cashback itu sendiri.
4. Pihak yang menerbitkan program tersebut bertanggung jawab atas pencairan dan potongan harga itu dalam bentuk nominal (harta tunai).
Berdasarkan paparan ini dapat disimpulkan bahwa cashback merupakan bonus (ja’lu), sebagai hasil dari terpenuhinya syarat akad ju’alah (sayembara) yang diselenggarakan oleh ja’il (pihak penyelenggara program) sebab pembeli telah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh ja’il.
Dari gambaran yang disampaikan maka praktek cashback sebagaimana deskripsi di atas adalah jenis akad yang dibolehkan, yang diistilahkan dengan sebutan ju’alah. Pihak ja’il bertanggung jawab memenuhi janji pencairan cashback sesuai dengan yang disyaratkan. Syeikh Taqiyuddin Al-Hishny, salah seorang ulama mazhab ‘ie berkata di dalam Kifayah Al-Akhyar :
والجعالة جَائِزَة وَهِي أَن يشْتَرط على رد ضالته عوضا مَعْلُوما فَإِذا ردهَا اسْتحق ذَلِك الْعِوَض الْمَشْرُوط
“Ju’alah merupakan akad yang dibolehkan. Gambaran akad ini adalah pihak penyuruh menjanjikan bonus dengan besaran diketahui kepada orang yang bisa mengembalikan barangnya yang hilang. Karenanya, apabila pihak yang dijanjikan itu memenuhi syarat penyuruh berupa mengembalikan hewannya yang hilang, maka ia berhak atas bonus yang dijanjikan tersebut.”
Wallahu ta’ala a’lam bi-asshowab.