Fiqh Muamalah Kontemporer
adminberarti2022-11-19T09:21:52+07:00Dijawab oleh Ustadz Muhammad Muchtar, Lc.
Para ulama membagi hukum undian menjadi dua macam :
Pertama, undian yang diharamkan bila di dalam undian tersebut ada unsur perjudian atau unsur mukhatarah (untung-rugi).
Misal : Si A bisa mengikuti undian berhadiah yang diadakan salah satu mal di Karawang dengan syarat si A membayar uang dalam jumlah tertentu kepada pihak panitia. Maka ini hukumnya haram karena ada unsur perjudian dan untung-rugi. Bila nama si A keluar pada saat undian dia akan untung, namun sebaliknya bila namanya tidak keluar saat undian maka A akan rugi karena sudah mengeluarkan biaya untuk mengikuti undian tersebut. Dan inilah hakikat perjudian, ada satu pihak yang mendapatkan keuntungan sementara pihak lain mendapatkan kerugian.
Kedua, undian yang diperbolehkan adalah undian yang di dalamnya tidak terdapat unsur perjudian dan mukhatarah(untung-rugi). Melakukan undian bukanlah hal tercela. Orang-orang shalih di zaman dahulu juga melakukan undian, termasuk para Nabi. Dulu ketika Nabi Yunus bin Mata ‘alaihissalam menaiki perahu, ternyata perahu yang beliau tumpangi kelebihan penumpang sehingga salah satu di antara mereka harus menceburkan diri ke laut. Maka dari itu dilakukanlah undian untuk menentukan siapa yang harus menceburkan diri ke laut, dan ternyata yang mendapat undian itu adalah Nabi Yunus ‘alaihissalam.
Allah menceritakan,
وَإِنَّ يُونُسَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ .إِذْ أَبَقَ إِلَى الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ. فَسَاهَمَ فَكَانَ مِنَ الْمُدْحَضِينَ
”Sesungguhnya Yunus termasuk para Rasul Allah. (Ingatlah) ketika dia lari, ke kapal yang penuh muatan, kemudian dia ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian.” (Q.S. As-Shaffat/37 : 139 – 141).
Rasulullah pun melakukan undian, mari kita simak testimoni ibunda kita Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan,
ِكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا مَعَهُ
“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak safar, beliau mengundi di antara istrinya. Siapa yang namanya keluar, beliau akan berangkat bersama istrinya yang menang.” (H.R. Bukhari-Muslim ).
Undian bisa dilakukan dalam 2 keadaan. Pertama, ketika terjadi ibham al-huquq (tidak diketahui siapa yang berhak), maka untuk menentukan siapa yang berhak, dilakukanlah undian. Misalnya, ada seseorang yang memiliki beberapa istri. Suatu ketika, ia ingin bermalam di rumah salah satu istrinya dan ia sudah menentukan istri yang dimaksud, namun ternyata dia lupa. Dalam kasus ini, harus ada salah satu istri yang dipilih untuk bermalam di rumahnya. Maka ditentukanlah dengan cara undian.
Kedua, ketika terjadi tazahum al-huquq (benturan hak beberapa orang yang terlibat) Semuanya berhak dan semua ingin mendapatkannya. Dalam kasus ini, digunakan undian untuk menentukan siapa yang berhak. Sebagai contoh, ada seorang ustadz yang mengadakan undian di channel Youtube-nya, barangsiapa yang memberikan review untuk siaran kajian di channel Youtube-nya, maka akan mendapatkan hadiah. Setelah disaring ternyata ada sekitar 20 orang yang telah memberikan review, sementara sang ustadz hanya menyediakan 5 hadiah saja. Maka cara menentukan siapa yang mendapat hadiah yaitu dengan menggunakan undian.
Dalam kasus lain, ada guru yang membawa 2 roti yang hendak diberikan kepada para muridnya yang berjumlah 10 siswa. Semua berkeinginan mendapatkannya. Sang guru menggunakan undian untuk menentukan siapa yang berhak. Dan perlu dicermati, bahwa undian di atas hanya bisa dilakukan bila berkaitan dengan menunaikan hak sesama manusia, Adapun hak Allah tidak bisa ditunaikan dengan undian.
Wallahu ta’ala a’lam bi-asshowab.
Dijawab oleh Ustadz Muhammad Muchtar, Lc.
Di antara syarat sah jual beli adalah objek yang diperjualbelikan harus jelas fisik barangnya, ukurannya, dan harganya. Dengan kata lain tidak boleh ada unsur gharar dalam objek jual beli.
Sebagaimana yang disampaikan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
َّ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli gharar.” (H.R. Muslim)
Dalam kasus, bagaimana hukum makan di restoran dengan bayar 50 ribu boleh ambil sepuasnya? Pada kasus ini, para ulama berbeda pendapat. Ada dua pendapat yang masyhur di kalangan para ulama , pendapat pertama : transaksi ini hukumnya haram karena terdapat unsur gharar (ketidakjelasan)di dalamnya. Ini merupakan pendapat Syaikh Muhammad Mukhtar as-Syinqithi(guru besar ushul fiqh Universitas Islam Madinah). Beliau pernah ditanya, “Apa hukum menjual makanan, dengan cara makan sampai kenyang sementara bayarnya tetap?” Jawaban yang beliau sampaikan,
الغذاء حتى الاشباع بی ٌع مجھول ، لأن الذي يشبع لیس لھ ضابط في الناس محدد ، وھذا البیع الذي تدل علیھ نصوص الكتاب وال ُّسنة أنھ محرم ، لایجوز لأنھ لا يصح أن تشتري شیئاً إلا إذا كان معلوماً ، معلوم الصفة ، معلوم القدر
“Makan sampai kenyang, termasuk jual beli majhul(tidak jelas). Karena istilah ‘kenyang’ pada manusia tidak memiliki batasan. Dan jual beli ini dilarang berdasarkan keterangan dari Al-Quran dan Sunnah. Tidak boleh, karena tidak sah membeli sesuatu kecuali semuanya jelas, jelas kriterianya, dan jelas ukurannya.”
Pendapat kedua : transaksi ini diperbolehkan. Ini merupakan pendapat Syekh Muhammad Shalih Ibnu Utsaimin. Beliau mengatakan, bahwa yang zahir semacam ini diperbolehkan. Karena ukuran yang dihidangkan jelas, dan ini dibolehkan sesuai adat. Namun apabila seseorang merasa bahwa dirinya banyak makan, maka dia harus mengatakannya kepada pemilik warung karena setiap manusia memiliki porsi yang berbeda-beda. (As-Syarh al-Mumthi’, 4/322).
Pendapat yang lebih kuat : Para ulama membagi unsur gharar dalam transaksi menjadi 2 bagian:
1.) gharar ringan/sedikit.
2.) gharar berat/banyak.
Adapun transaksi jual beli yang didalamnya terdapat unsur gharar ringan/kecil maka hukumnya mubah, dan transaksi jual beli yang terdapat banyak unsur gharar di dalamnya maka hukumnya haram.
Sebagaimana perkataan Ibnu Rusyd – rahimahullah –,
زوجی لیلقلا نأو ، زوجی لا تاعیبملا يف ریثكلا ررغلا نأ ىلع نوقفتم ءاھقفلا
Para ulama sepakat bahwa gharar yang banyak dalam transaksi, tidak diperbolehkan. Sementara gharar yang sedikit, diperbolehkan. Dalam kasus “makan di restoran dengan bayar 50 ribu silahkan makan sepuasnya”, pemilik restoran maupun konsumen bisa memahami bahwa di rentang berapakah kuantitas makanan yang akan dikonsumsi untuk sekali kunjungan.
Misalnya, untuk nasi antara 1 – 3 ons/orang, lauk antara 2 – 5 ons/orang, dst. Mereka bisa menoleransi untuk selisih kuantitas di rentang itu. Dan itulah gharar ringan yang diperbolehkan oleh syariat. Maka hukumnya mubah makan di restoran yang seperti itu.
Wallahu ta’ala a’lam bi-ashowab.
Dijawab oleh Ustadz Muhammad Muchtar, Lc.
Beasiswa hakikatnya adalah hadiah dan akad hadiah dipersyaratkan bersifat sukarela serta tidak mengharap imbalan. Bila pihak bank mempersyaratkan penerima beasiswa tersebut nantinya akan menjadi pegawai di bank, maka ini perkara yang diharamkan. Adapun bila pihak bank memberikan beasiswa tanpa ada syarat-syarat apapun kecuali mengikuti tes akademik saja, maka dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat.
Sebab perbedaan pendapat para ulama adalah tentang hukum bermuamalah dengan lembaga yang mayoritas hartanya haram. Dan kita ketahui bank menghasilkan mayoritas hartanya dari transaksi riba, walaupun memang ada transaksi yang halal di bank seperti transfer uang.
Ada tiga pendapat di kalangan para ulama tentang hukum bermuamalah dengan lembaga yang mayoritas hartanya haram.
Pendapat pertama adalah hukumnya haram ; maka menerima undian, hadiah, dan beasiswa dari bank adalah haram. Ini pendapat Sebagian ulama Hanafi dan Hanbali. Mereka berdalil dengan kaidah fiqh,
إِذَا اِجْتَمَعَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ غُلِبَ الْحَرَامُ
“Bila yang halal dan yang haram bercampur, maka yang dimenangkan adalah yang haram.”
Akan tetapi pendapat ini tidak kuat karena bertentangan dengan perbuatan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang bermuamalah dengan orang-orang Yahudi.
Pendapat kedua, hukumnya makruh bermuamalah dengan pihak/lembaga yang diketahui mayoritas hartanya haram. Maka menerima beasiswa dari bank hukumnya makruh. Inilah pendapat sebagian ulama mazhab Syafi’i. Imam As-Suyuthi berkata, “Bermuamalah dengan orang yang sebagian besar hartanya berasal dari yang haram hukumnya makruh.”
Menurut pendapat yang terkuat dalam mazhab kami (Al Asybah wan Nazhair, hal 107) Pendapat ini berdalil dengan hadits Rasulullah ,
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَان بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الَحرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ أَلاَّ وِإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ – رَوَاهُ البُخَارِي وَمُسْلِمٌ
“Sesungguhnya yang halal itu telah jelas dan yang haram pun telah jelas pula. Sedangkan di antaranya ada perkara syubhat (samar-samar) yang kebanyakan manusia tidak mengetahui (hukum)nya. Barangsiapa yang menghindari perkara syubhat (samar-samar), maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang jatuh ke dalam perkara yang samar-samar, maka ia telah jatuh ke dalam perkara yang haram. Seperti penggembala yang berada di dekat pagar larangan (milik orang) dan dikhawatirkan ia akan masuk kedalamnya.” (H.R. Bukhori dan Muslim)
Hadits di atas menjelaskan bahwa sesuatu yang tidak jelas kehalalan dan keharamannya adalah perkara yang syubhat dan harus ditinggalkan, karena siapa yang jatuh dalam perkara syubhat ia juga akan jatuh dalam perkara yang haram.
Pendapat ketiga, bermuamalah dengan pihak/lembaga yang mayoritas hartanya haram hukumnya mubah. Maka menerima hadiah, undian , beasiswa tanpa ada syarat apapun hukumnya boleh. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Al Hafiz Ibnu Hajar Al Atsqolani. Pendapat ini berdalil dengan perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bermuamalah dengan orang Yahudi. Rasulullah pernah menerima hadiah dari orang Yahudi, padahal Allah menetapkan bahwa orang-orang Yahudi adalah pemakan riba dan harta haram. Allah berfirman,
اَكّٰلُوْنَ لِلسُّحْتِۗ
“Mereka itu orang-orang yahudi banyak memakan yang haram” (Q.S. Al-Maidah/5 : 42).
وَّاَخْذِهِمُ الرِّبٰوا وَقَدْ نُهُوْا عَنْهُ
“Dan disebabkan mereka orang-orang Yahudi memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari melakukannya”.(Q.S. An-Nisa/3 : 161).
Dalam masalah ini penulis lebih menguatkan pendapat yang lebih hati-hati yaitu pendapat yang kedua, bahwasanya menerima hadiah/beasiswa dari bank adalah perkara yang syubhat dan lebih baik ditinggalkan, karena dikhawatirkan menerima beasiswa pendidikan dari lembaga yang sudah jelas mayoritas hartanya haram akan menyebabkan hilangnya keberkahan bagi orang yang menerima beasiswa tersebut. Terlebih lagi dikhawatirkan setelah orang itu menerima beasiswa dari bank, maka ia akan membela pihak bank tersebut secara membabi buta dan mencari pembenaran atas segala kebijakan bank yang bertentangan dengan hukum syariat Islam.
Adapun perbuatan Rasulullah menerima hadiah dari orang Yahudi semata-mata untuk melembutkan hati orang Yahudi tersebut agar dapat masuk ke dalam agama Islam.
Wallahu ta’ala a’lam bi-asshowab.